Senin, 20 Juni 2011

Pantaskah Menjadi Seorang Anak Aceh ?


Nama gue Alfido. Diliat dari silsilah keluarga,
Gue merupakan keturunan bangsawan Aceh.
Mengingat nama almarhum kakek gue Teuku Aziz Kari.
Cuman gak lucu kan kalo di KTP nama gue jadi  Teuku Alfido atau Cut Alfido Kemalahayati.
(catatan: Teuku dan Cut merupakan nama yang di berikan bagi mereka para keturunan bangsawan Aceh)
Nama itu gak boleh sembarangan digunakan. Ingat, khusus untuk bangsawan Aceh.

Gue adalah seorang anak yang di lahirkan di Aceh Utara, lebih spesifiknya Lhokseumawe pada tanggal 5 Oktober 1992 silam.
Kalo di htung-hitung, usia gue kini baru genap 18 tahun. Masih cukup muda dan masih memiliki banyak waktu dan kesempatan untuk mewujudkan mimpi-mimpi besar yang gue miliki.

Lahir dan besar di Aceh sebenarnya bukan karena keinginan gue pribadi.
Aktor di balik itu semua adalah papa.
Papa adalah salah seorang karyawan PT.PIM , perusahaan yang bergerak di  industri perpupukan yang berlokasi di Lhokseumawe, Aceh Utara.
Karena papa bekerja di sana, mau tidak mau gue juga harus tumbuh dan berkembang di kota yang terkenal dengan syariat islamnya.

Masa-masa kecil banayak gue habiskan dengan bermain di komplek perumahan.
Tidak, itu terlalu luas.
Masa kecil banyak gue habiskan dengan bermain di depan pagar rumah. Permainan tradisional seperti petak umpet, jongkok kring dan patok lele kerap gue mainkan dengan sodara-sodara gue yang lain.
Meyedihkan kalo dikenang , tetapi menyenangkan di masanya dulu.
Gue termasuk dalam kategori anak kuper .
Teman yang gue miliki semasa kecil bisa dihitung dengan bulu ketek yang gue miliki waktu itu (kalo ada).
Hal ini disebabkan  karena gue begitu selektif dalam memilih teman.

Selagi gue menuntut ilmu di UNIBRAW Malang, Jawa Timur. untuk mendapatkan gelar Ir.
Gue mendapati hal baru yang kerap membuat gue jenuh sebagai seorang perantau di pulau orang.

Hayoo,Apa itu? Makanan ya? Hemm, pasti Home sick ya? Atau kangen pacarnya kann?
Kalo boleh jujur, tebakan itu tepat juga. Tapi bukan itu yang mau gue bahas kali ini.

Kali ini gue lebih melihat dari segi bahasa.
Yak, bahasa daerah.
Kebanyakan para mahasiswa disini mengunakaan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi dengan mahasiswa lainya. Maklum aja, mayoritas mahasiswa di kampus gue asli penduduk Jawa. Dan hanya sedikit yang berasal dari luar Jawa.
Alasan meraka mengunakan bahasa Jawa adalah agar lebih mengakrabkan. Lagian ini juga merupakan hal yang sudah biasa mereka lalkukan dari kecil dulu, jawaban dari seorang kerabat gue.

Dan apa tindakan yang gue lakukan di situasi seperti ini?
Terbengong dan terpana adalah 2 kombinasi  yang kerap gue lakukan untuk perlahan-lahan mencoba mencerna dan memahami apa yang sedang mereka bicarakan dengan Bahasa Jawa nya.
Bahkan ada beberapa teman, yang menurut gue sama sekali uda gak cocok  untuk berbahasa Indonesia.

Saking seringya mendengar mereka berbahasa Jawa. Gue udah lumayan mahir dalam berbahasa Jawa.
Mudah-mudahan aja logat gue gak ikutan berubah juga.

Selama hampir 17 tahun tumbuh berkembang di Aceh.
Gue juga belum bisa bercakap dalam bahasa Aceh.
Paling mantap kata-kata yang bisa gue kuasai adalah seperti:
Pajoh bu le
Peu haba?
Haba Geut
dan yang paling familiar dan  sudah berhasil  gue  hapalkan luar kepala adalah :
Adoe ma Keuh!! ( ini sering gue dengar waktu di SMP dulu, ketika salah seorang anak ingusan yang berlagak menjadi preman dan menggertak teman-temnaya yang cupu. Salah satu korbanya adalah gue sendiri ).

Gue baru merasakan penyesalanya sekarang. Hampir 17 tahun berada Di Aceh, gue juga belum bisa menguasai bahasa daerahnya.
APA KATA ORANG ACEH ??

Bisa dikatakan keturunaan kakek gue mengalami  pendegradasisan  dalam hal berbahasa.
Mulai dari kakek gue yang mahir berbahasa Aceh beserta logatnya.
Kemudian papa yang cakap dalam mendengar dan hancur dalam berbicara.
Kemudian gue yang sama sekali gak bisa berbahasa Aceh, baik speaking maupun listeningnya.
Dan mungkin nanti, waktu gue uda punya anak.
Anak gue bakalan gak percaya kalo gue adalah orang Aceh.

Namun, pantas ato tidak. Gue tetaplah seorang anak Aceh dengan segala kekuranganya.

3 komentar:

  1. biar aku aja yg koment ya do..
    kasian kau gak ada yg mau koment hahaha...

    BalasHapus
  2. gk penting kimenya..
    namanyjg crta bro..
    bgus, gk bgus tu biasa lay..haha

    BalasHapus
  3. hahahaha itu bedanya daerah tmpt tinggal kita sama tmpt kita ngerantau skrg do..
    di malang emg mayoritas yg tinggal org malang, amkanya kalo ada pendatang amu ga mau bkn mereka yg menyesuaikan, tp kita yg harus bisa menyesuaikan diri dgn bahasa kita
    laen kalo kita di PIM, mayoritas org" yg ada di PIM itu kan pendatang
    kyk ortu aku, nisa, anis, tasya, astrid, firman, dan bbrp lainnya lah
    mayoritas kan dr pulau jawa, ato tetangga" aceh kyk medan, palembang dll
    sdangkan di jamannya kita dulu msh imut", yg nmanya anak aceh nya asli di lingkungan kita kan msh dikit, ga kyk skrg udh banyaak org aceh di dlm PIM. jadilah kita jaman dlu menggunakan bahasa indonesia utk kita komunikasi, bahkan kita" (yg pendatang) kalo di rmh jg ortu kita seringnya ngomong pake bahasa indonesia kan...
    apalagi dari TK-SD-SMP-SMA tmn"nya 4L: LO LAGI LO LAGI
    see the point? susah boy buat mengembangkan kemampuan berbahasa daerah kita selama di Aceh.
    hahahaha . tapi yaa smoga walo ga bisa bahasa aceh, itu ga mengurangi kecintaan kita pada tanah kelahiran kita yaa . paling nggak udh cukup deh kita bikin malu diri sendiri karna gabisa bahasa acehnya, jgn sampe yg lain"nya ttg aceh kita gatau dan bikin diri kita malu krn udh ngaku" klahiran aceh
    hahaha cemunguuudh!

    BalasHapus